It’s All About News

Archive for the ‘babel’ Category

Menuju Era Pertambangan Baru (2)

with one comment

Cukup IUP Bukan KP

edisi: 01/Apr/2009 wib

TAMBANG inkonvensional (TI) atau tambang rakyat ini akan diakomodir dalam UU Minerba dengan sejumlah persyaratan. TI tidak bisa menambang di sembarangan tempat, seperti lokasi TI persis di tengah permukiman warga. Foto diambil beberapa waktu lalu. DENGAN Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), bupati atau walikota memang memiliki wewenang untuk memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Pemerintah setempat juga memiliki kewenagan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencakup eksplorasi dan operasi produksi. Tidak lagi dengan memegang Kuasa Penambangan (KP) seperti UU tahun 1967.

Ketua Komisi VII DPR RI, Airlangga Hartarto mengatakan di samping hak, pemegang IPR juga memiliki kewajiban. Di antaranya melakukan kegiatan penambangan paling lambat tiga bulan setelah penerbitan IPR. Pemegang IPR juga harus mengelola lingkungan hidup dan membayar iuran tetap serta iuran produksi.

“Pemegang IPR juga wajib menyampaikan laporan berkala kepada pemberi IPR dan menaati ketentuan perundang-undangan di bidang keselamatandan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan serta persyaratan teknis pertambangan,” kata Airlangga saat seminar Menyelamatkan Industri Timah Nasional di ruang GBHN, DPD RI, Jakarta, belum lama ini.

Sementara itu untuk menjamin terselenggaranya kegiatan pertambangan yang baik, UU Minerba mengharuskan pemerintah kabupaten/kota untuk mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang. 

Pejabat ini berperan mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan pertambangan rakyat yang berada di dalam wilayahnya. Dan melaporkan pencatatan tersebut secara berkala kepada menteri dan gubernur setempat.

Pemerintah kabupaten/kota tidak hanya diperbolehkan memberikan IPR. Mereka juga bisa memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tentunya memiliki wilayah cakupan penambangan lebih luas. 

IUP terbagi menjadi dua, yaitu IUP eksplorasi, yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Serta IUP operasi produksi yang meliputi kegiatan konstruksi penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

“IUP diberikan bupati/walikota apabila WIUP (Wilayah Izin Usaha Penambangan) berada di dalam satu wilayah kabupaten/ota. Sedangkan bila WIUP berada di lintas wilayah kabupaten/kota maka yang berhak adalah gubernur dengan terlebih dahulu ada rekomendasi dari bupati/walikota setempat. Dan untuk lebih dari itu, maka kewenangan ada di Menteri,” ujarnya. Baca entri selengkapnya »

Written by didit

1 April, 2009 at 5:42 pm

Menuju Era Pertambangan Baru (1)

leave a comment »

Izin Penambangan Rakyat Cukup Bupati

edisi: 31/Mar/2009 wib

BAGI Provinsi Kepuluan Bangka Belitung, UU Minerba menjadi tumpuan guna membenahi aktivitas penambangan timah. Oleh sebab itu, PP sebagai petunjuk dalam pelaksanaan UU ini sangat ditunggu-tungu.

Gubernur Babel, Eko Maulana Ali berharap agar pemerintah segera menerbitkan PP yang dibutuhkan. PP ini menjadi acuan sehingga tidak membuat kebingungan bagi pemerintah daerah.

“Seyogianya bisa cepat diimplemetasikan agar tidak membingungkan kami yang di daerah,” ungkap Eko di sela-sela kegiatan peresmian Anjungan Babel di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Minggu (29/3) lalu.

Babel akan mengikuti apa pun yang telah ditetapkan pemerintah pusat. Termasuk berkaitan dengan UU Minerba. Tidak ada usulan khusus yang diajukan untuk PP yang nantinya bakal diterbitkan. 

Babel hanya mengusulkan aspirasi yang berkaitan dengan pengelola tambang untuk kesejahteraan daerah, tata ruang, dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan pertambangan. Misalnya persoalan pengaturan izin tambang.

“Semuanya sudah kita usulkan kepada Dirjen (Direktorat Jenderal) Pertambangan. Kita sudah melakukan beberapa pendekatan, sudah kita sampaikan aspirasi kita, tinggal pemerintah pusat terjemahkan,” tegasnya.

UU Minerba disahkan DPR RI pada Desember tahun lalu. UU pengganti dari UU No 11  tahun 1967 tentang Pertambangan ini kemudian ditandatangani Presiden pada 12 Januari silam. 

Pro dan kontra mewarnai kehadiran UU Minerba. Ada yang percaya kalau UU itu akan mengatur dunia pertambangan di tanah air menjadi lebih baik. Tak sedikit pula yang mengajukan keberatan karena tidak memberikan keuntungan. Baca entri selengkapnya »

Written by didit

1 April, 2009 at 5:36 pm

Kampanye Menjurus Ke Arah Pembodohan

leave a comment »

JAKARTA, BANGKA POS — Anggota DPR RI, Yusron Ihza Mahendra mengatakan kampanye Pemilu tidak sekedar upaya calon legislatif (caleg) untuk mendapatkan suara dari pemilih. Ajang itu juga merupakan sebuah proses pendidikan politik untuk masyarakat. Karenanya, adik kandung Yusril Ihza Mahendra ini berharap kampanye bukan menjadi sebaliknya.

“Tapi dalam kenyataannya tidak jarang terjadi bahwa kampanye dan iklan-ikaln kampanye justru menjurus ke arah pembodohan. Hal ini sangat ironis karena bukan saja akan membuat masyarakat tersesat dan salah berpikir, melainkan sekaligus juga tertipu dengan janji- janji palsu yang ilusif dan tidak rasional,” ungkap Yusron kepada Bangka Pos Group, Selasa (9/12).

Pernyataan itu dilontarkan Yusron bukan tanpa sesuatu yang tidak mendasar. Yusron menilai saat ini telah terjadi kampanye yang menjurus ke arah pembodohan masyarakat. Terutama menjelang pemilu 2009 di daerah asalnya yang tidak lain Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Dia menjelaskan jika saat belum terpilih pun sang calon sudah berusaha menipu dan membodohi masyarakat, maka apa jadinya dia jika terpilih nanti. Dia mencontohkan salah satu pernyataan atau iklan politik yang menyebutkan bahwa akan mengusulkan agar pemerintah mengalokasi dana sebesar Rp 1,5 miliar kepada setiap desa di Indonesia.

“Ide itu bagus, tapi darimana duitnya? Sekarang ini kita punya sekitar 74 ribu desa. Jika tiap desa dapat Rp 1,5 miliar maka berarti perlu dana lebih dari Rp 110 trilyun,” tuturnya.

“Padahal untuk biaya pertahanan negara (Dephan/TNI) sebesar Rp 100 trilyun sekarang ini pun, pemerintah hanya mampu penuhi sepertiganya saja,” kata Yusron.

Sehubungan dengan pengembangan desa, Yusron menyebutkan kalau pemerintah sudah mulai memikirkannya. Hal itu tampak dari diputuskannya rencana agar tiap sekretaris desa dapat gaji dari APBN. “Minggu lalu, semua Bupati telah diundang ke Depdagri sehubungan dengan hal ini,” tegasnya.

Permasalahan lain yang kerap dijadikan isu kampanye yaitu tentang guru. Politisi yang masih duduk sebagai wakil ketua komisi I DPR RI itu mengatakan bahwa sudah merupakan kesepakatan kalau guru harus sejahtera. Karena itu sejak beberapa tahun yang lalu DPR RI sudah ketok palu bahwa anggaran pendidikan
sebesar 20% di APBN. (mun)

Sumber : Kelompok Koran Daerah Kompas-Gramedia, Edisi Rabu 10 Desember 2008
* Bangka Pos (www.bangkapos.com)

Written by didit

23 Desember, 2008 at 11:32 pm

Kado ‘Istimewa’ Hakim Untuk Hari Antikorupsi

leave a comment »

…hasil penelitian Political Economy and Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2008 rasanya dapat dijadikan rujukan. Lembaga riset prestisius yang berbasis di Hongkong itu menempatkan peradilan Indonesia sebagai peradilan terkorup di Asia. Hal ini terlihat dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia hanya menduduki peringkat buncit, yakni 12 dengan skor 8,26.

ANGGOTA Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) Andan Topan Husodo mengatakan bahwa vonis bebas bukan merupakan sebuah masalah. Pasalnya tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa hakim harus menghukum terdakwa korupsi. Independensi hakim dalam memutus perkara korupsi, dan perkara lain, adalah jaminannya.

Meski begitu, Adnan merasa bahwa vonis bebas terhadap kasus korupsi telah menjadi kerisauan publik yang luas. Karena sudah terlalu banyak kasus korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan umum. Setidaknya begitu yang tercatat oleh ICW. Bagaimana ICW dalam ?melihat masalah ini? Berikut kutipan wawancara wartawan Bangka Pos Group, M Ismunadi dengan Adnan Topan Husodo lewat telpon, Sabtu (13/12):

DALAM catatan ICW, pada semester satu tahun 2008, terdapat 94 perkara korupsi dengan 196 terdakwa yang telah diperiksa dan divonis pengadilan di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri = 72 perkara), banding (Pengadilan Tinggi= 7 perkara), kasasi (MA=15 perkara). Sedangkan nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,196 triliun.

Dari 196 terdakwa korupsi yang diproses hukum oleh pengadilan umum, sebanyak 104 terdakwa divonis bebas. Sisanya, yakni 92 terdakwa akhirnya divonis bersalah. Ini artinya, 53 persen dari seluruh terdakwa menghirup udara bebas karena hakim memutuskan tidak terbukti. Sementara 47 persennya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Meskipun komposisi antara yang bebas dan bersalah relatif berimbang, akan tetapi telaah lebih lanjut menunjukan hal yang amat mengecewakan. Pasalnya, dari 92 terdakwa korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah mendapatkan vonis penjara yang ringan. Dengan kata lain, putusan bersalah pengadilan terhadap pelaku korupsi belum memberikan efek jera.

Rinciannya, pelaku korupsi yang divonis bersalah dibawah 1 tahun penjara sebanyak 36 terdakwa (18,3 %). Hukuman penjara diatas 1,1 tahun hingga 2 tahun sebanyak 40 terdakwa (20,4 % ), divonis hingga 5 tahun sebanyak 5 terdakwa (2,5 %) serta divonis 5,1 tahun hingga 10 tahun sebanyak 4 terdakwa (2,04 %).

Parahnya, diantara putusan bersalah tersebut, terdapat 7 terdakwa kasus korupsi yang divonis percobaan (3,57%), putusan yang dalam literatur tindak pidana korupsi tidak dikenal sama sekali. Dengan demikian, secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan umum adalah 6,43 bulan penjara. Kondisi yang tentunya menyedihkan karena vonis tersebut mengandung kesan rendahnya komitmen pengadilan dalam mendukung agenda pemberantasan korupsi.

Berbicara mengenai buruknya komitmen pengadilan dalam memberantas korupsi, hasil penelitian Political Economy and Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2008 rasanya dapat dijadikan rujukan. Lembaga riset prestisius yang berbasis di Hongkong itu menempatkan peradilan Indonesia sebagai peradilan terkorup di Asia. Hal ini terlihat dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia hanya menduduki peringkat buncit, yakni 12 dengan skor 8,26.

Sudah seharusnya hasil ini tidak dianggap sepele oleh Pemerintah karena mayoritas responden adalah warga negara asing. Dengan kata lain, di mata internasional, Indonesia telah dipandang tidak memiliki kemauan politik yang besar untuk membenahi lembagah)peradilan yang korup.

Namun demikian, dalam situasi pengadilan Indonesia yang telah menyulut apatisme masyarakat luas, baik domestik maupun internasional, sebenarnya kita masih menyimpan asa. Paling tidak ada suguhan yang menyegarkan pada lingkup pengadilan yang lain. Realitas pengadilan umum berbanding terbalik dengan kinerja pengadilan khusus korupsi (pengadilan tipikor). Harapan bahwa pemberantasan korupsi mendapatkan dukungan yang bulat dari hakim dapat kita lihat pada pengadilan tipikor.

Jika vonis bebas adalah hal majemuk yang diberikan oleh hakim pengadilan umum, tidak ada satupun kasus korupsi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibebaskan oleh pengadilan tipikor, bahkan pada semua tingkatan. Justru kecenderungannya sangat positif, karena upaya banding atau kasasi yang dilakukan terpidana biasanya akan diganjar dengan vonis penjara yang lebih berat.

Fakta ini menunjukan bahwa kita sebenarnya memiliki potensi untuk dapat memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Pengadilan tipikor telah memulai usaha itu. Pertanyaannya, apakah semangat ini juga akan diikuti oleh para hakim di pengadilan umum? Sayang sekali, pada perayaan hari antikorupsi sedunia saat ini, kita masih harus melihat ada pelaku korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan umum. Sebuah kado buruk dari hakim pengadilan umum untuk hari antikorupsi. (*)

Sumber : Kelompok Koran Daerah Kompas-Gramedia, Edisi Minggu 14 Desember 2008
* Bangka Pos (www.bangkapos.com)

Written by didit

23 Desember, 2008 at 11:28 pm

Ditulis dalam adnan topan husodo, babel, ICW, korupsi